Wednesday, May 16, 2007

Askep Anak dengan Gizi Kurang


Asuhan Keperawatan Komunitas pada Anak sekolah dengan Gizi kurang
Pengkajian
Perawat komunitas perlu mengkaji data inti (core) meliputi berat badan anak saat ini, tinggi badan,lingkar kepala, lingkar lengan atas, pola makan. Kemudian pengkajian diarahkan kepada 8 elemen pengkajian sesuai dengan model yang digunakan. Pendidikan, keamanan dan transportasi, komunikasi, pelayanan kesehatan dan sosial, ekonomi, lingkungan politik dan pemerintahan, rekreasi dan lingkungan fisik.

Pengkajian ini dilakukan bersama dengan guru dan orang tua minimal setiap 6 bulan. Hasil pengkajian dianalisis dan masalah yang ditemui dinformasikan kepada orang tua.

Diagnosa Keperawatan
Masalah keperawatan yang sering ditemui adalah Risiko penurunan status gizi, risiko anemia gizi,risiko tertular penyakit infeksi tertentu (Diare, ISPA, typoid).

Perencanaan
Perencanaan disusun bersama komponen guru, orang tua dan tenaga kesehatan. Perlu diperhatikan kalender akademik kegiatan sekolah. Perlu dilakukan kerjasama dengan berbagai komponen lain seperti pemerintah, LSM dan organisasi swasta lainnya. Strategi menggunakan berbagai metode seperti kemitraan dan mengembangkan "net working".

Implementasi
Pelaksanaan sesuai dengan perencanaan yang telah disusun. Pelaksanaan tetap memperhatikan tiga level pencegahan, yaitu :
Pencegahan primer
Dilakukan sebagai upaya meningkatkan status gizi anak usia sekolah melalui pendidikan kesehatan, motivasi kepada orang tua dan guru.
Pencegahan sekunder
Melakukan deteksi dini gangguan tumbuh kembang pada anak, jika ditemui anak dengan gizi kurang maka perlu pemberian makanan tambahan, membantu keluarga menyusun menu makanan anak,merubah pola makan anak dan mengobati penyakit pernyerta atau penyebab.

Pencegahan Tertier
Agar kondisi kurang gizi tidak berlanjut menjadi gizi buruk dan menimbilkan komplikasi lain, perlu pemantauan yang kontinu, periodik, lakukan kunjungan rumah, rubah pola makan keluarga dan anak, dan tingkatkan dukungan masyarakat sekitarnya.

Evaluasi
Membandingkan kondisi akhir dengan kondisi awal merupakan kegiatan inti dari evaluasi keperawatan komunitas. Disamping itu perlu diukur efektifitas dan efisiensi kegiatan, kemajuan, dampak (waktu yang lama). Evaluasi juga dilakukan dengan bekerjasama dengan lintas program dan sektoral. Evaluasi meliputi evaluasi struktur, proses dan hasil. Penggalian faktor pendukung dan penghambat sangat perlu sebagai acuan dalam kegiatan berikutnya.


BAB III
PELAKSANAAN


A. Profil wilayah dan Agregat

Kelurahan Kemiri Muka terdiri dari 20 Rukun Warga (RW) yang dibagi menjadi 84 Rukun Tetangga (RT). Dalam pembinaan kesehatan Kelurahan Kemiri muka berada dibawah tanggung jawab Puskesmas Kemiri Muka , jarak terjauh hanya 1 Km dari seluruh pemukiman warga. Sarana transportasi yang tersedia sangat memadai dan memudahkan masyarakat memperoleh pelayanan.

Dari segi demografi , jumlah penduduk mencapai 27.801 orang yang terdiri dari 13.706 laki-laki dan 14.095 perempuan (Data Puskesmas tahun 2003). Wilayah ini berkembang pesat dari pedesaan menjadi perkotaan sehingga penataan lingkungan dan kesiapan masyarakat dalam menerima arus perubahan tidak disiapkan sejak awal. Kehadiran Universitas Indonesia yang merupakan Universitas terbesar di Indonesia juga berefek terhadap tingginya mobilitas penduduk ke dan dari wilayah ini. Hal tersebut akan berpengaruh juga pada pola dan gaya hidup masyarakat. Perubahan yang terjadi akan berpengaruh terhadap meningkatnya kelompok yang rentan ( vurnerable group). Puskesmas Kemiri Muka mencatat bahwa kelompok rentan itu adalah bayi, balita, anak usia sekolah, ibu hamil, ibu bersali/menyusui, dan lansia.

Ditinjau dari Paradigma sehat, yang menjelaskan tentang lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan sebagai faktor yang mempengaruhi kesehatan. Perilaku yang ditemukan di wilayah Kemiri Muka diantaranya yaitu kebiasaan merokok, kurangnya olah raga secara teratur, diet yang tidak seimbang, kurangnya perhatian terhadap lingkungan yang menunjang kesehatan khususnya kasus Demam Berdarah. Perilaku-perilaku tersebut akan mendukung timbulnya masalah kesehatan di masyarakat. Sedangkan lingkungan yang pemukiman yang padat, tingginya polusi udara, penataan pasar yang tidak sehat, dan pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya di Kelurahan Kemiri Muka juga merupakan faktor pemicu munculnya masalah kesehatan seperti TBC, Demam Berdarah, ISPA, Diare dan sebagainya.
Dari aspek pelayanan kesehatan, wilayah Kemiri Muka selain mempunyai Puskesmas yang dapat dengan mudah dijangkau oleh masyarakat juga terdapat pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pihak swasta seperti dokter praktek, rumah bersalin dan klinik. Namun belum optimal dimanfaatkan oleh masyarakat sehingga belum mencapai sasaran sesuai target yang ditetapkan oleh Depkes seperti kasus TBC, Diare, ISPA (Puskesmas Kemiri Muka 2004).

Berdasarkan kondisi di atas maka perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak guna menata perilaku dan lingkungan yang sehat, sebagai upaya meningkatkan status kesehatan masyarakat khususnya di Kelurahan Kemiri Muka sesuai dengan visi Dinas Kesehatan Jawa Barat yaitu Jawa Barat Sehat 2008 dan visi Departemen Kesehatan RI yaitu Indonesia Sehat 2010.

Berkaitan dengan anak usia sekolah dikelurahan kemirimuka jumlahnya tidak tercatat dengan baik, dari data kelurahan dapat dilihat bahwa komposisi penduduk tidak membagi komposisi penduduk berdasarkan rentang usia yang sesuai dengan tahapan tumbuh kembang, akan tetapi berdasarkan produktif dan non produktif. Ada 4 Negeri SD di kemirimuka dengan jumlah murid sekitar 600 orang. Sedangkan dalam survey ini hanya memilih 2 SD (02 dan 03 Kemiri Muka) dengan jumlah murid 290 orang dan jumlah sampel yang diambil adalah 79 orang murid secara proporsional.

B. Hasil Pengkajian dan Analisis
1. Hasil Pengkajian

Berikut disajikan hasil pengkajian status gizi anak usia sekolah di Kemiri Muka :
Diagram 3.2 :


Diagram 3.3 :


Dari diagram 3.1 dapat diketahui bahwa pada umumnya status gizi anak usia sekolah dikelurahan kemiri muka adalah baik (89,90), akan tetapi masih ada anak usia sekolah yang status gisinya sedang (6,30 %) dan sudah anak dengan status gizi lebih ( 3,80 %). Guru mengatakan penimbangan anak jarang dilakukan dan kalaupun dilakukan hasilnya tidak diberitahukan kefihgak sekolah. Puskesmas belum secara rutin melakukan pembinaan ke sekolah.

Dari diagram 3.2 dapat diperoleh informasi bahwa ada 21, 50 % anak usia sekolah yang menunjukan gejala anemia seperti konjunctiva pucat. Anemia akan mengakibatkan kurangnya kosentrasi anak, guru mengatakan anaknya sering mengantuk disekolah.

Diagram 3.3 menunjukan semua orang tua memberikan uang jajan kepada anaknya setiap hari dengan ju\mlah yang bervariasi yaitu yang terbanyak adalah antara 1000 s/d 2000 rupiah / hari (82,30 %). Berdasarkan wawancara dengan guru mengatakan bahwa orang tua lebih senang memberikan uang jajan kepada anaknya. Anak biasanya lebih senang jajan makanan ringan (ciki), permen dan es. Makanan tersebut tersedia di warung sekolah.


Dari diagram 3.4 dapat dilihat bahwa umumnya orang tua mempunyai persepsi yang kurang baik terhadap kebiasaan jajan (89,90 %), orang tua menganggap anak perlu jajan karena tidak sempat memasak, anak malas makan, kasihan dan malu sama teman. Kebiasaan jajan yang tidak baik ini akan berisiko menimbulkan berbagai penyakit infeksi dan kurang gizi pada anak.


Sedangkan dari diagram 3.5 diperoleh informasi orang tua masih banyak yang salah dalam mengolah sayur (54,40 %), kesalahan ini tentunya akan mengakibatkan hilangnya nilai vitamin dan mineral yang ada pada sayur. Orang tua mengatakan memotong dulu baru mencuci sayur serta memasak sayur sampai terlalu matang.

Diagram 3.6


Diagram 3.7 :
Diagram 3.8 :

Dari diagram 3.6 diketahui masih ada 10,10 % ibu yang belum memahami pentingn ya menu seimbang untuk anaknya. Hal ini tentu akan berpengaruh kepada penyediaan menu makanan di rumah.

Diagram 3.7 menginformasikan tidak semua ibu sudah mendapat informasi tentang menu seimbang dan masalah gizi lainnya, ada 50,60 % ibu yang belum memperoleh tentang makanan bergizi, sedangkan 27,80 % ibu memperoleh informasi dari berbagai sumber seperti televisi, koran, tenaga kesehatan dan media masa lainnya serta ada 21,50 % ibu memperoleh informasi hanya dari satu sumber. Informasi dari berbagai sumber sangat dibutuhkan ibu atau keluarga, sehingga ibu tidak salah persepsi tentang makanan bergizi.

Ada 29, 10 % keluarga yang memanfaatkan pekarangannya untuk mendukung sumber gizi keluarga dari 41,80 % keluarga yang mempunyai pekarangan rumah, sedangkan yang laiinya tidak memanfaatkan pekarangannya dengan baik. Padahal pekarangan dapat digunakan sebagai pendukung sumber gizi bagi keluarga, khususnya anak usia sekolah seperti menanam sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan dan binatang ternak.


Diagram 3.9


Diagram 3.10


Diagram 3.11


Diagram 3.12

Diagram 3.09 menggambarkan umumnya (79,70 %) keluarga berpenghasilan 500 ribu s/d 1 juta rupiah dan ada 6,30 % keluarga yang berpenghasilan kurang dari 500 ribu rupiah. Data ini menunjukan masih ada keluarga yang termasuki kategori miskin, dengan rata-rata perkapita per bulan kurang Rp. 141.000,-. Kemiskinan akan mengakibatkan menurunnya daya beli dan pada umumnya keluarga yang miskin ini juga berpendidikan rendah. Hal ini menambah risiko kurang gizi pada anak usia sekolah.

Umumnya ibu-ibu dengan anak usia sekolah tidak bekerja (88,60 %) seperti terlihat pada diagram 3.11, hal ini seharusnya sangat mendukung dalam pemeliharaan kesehatan anak, akan tetapi pendidikan ibu pun ternyata banyak yang rendah seperti terlihat pada diagram 3.12 , banyak ibu berpendidikan SD (34,20 5), walaupun pendidikan bapak lebih tinggi dari pendidikan ibu, palung banyak pendidikan bapak adalah SLTP (31,60 %)

Data lain yang diperoleh adalah 15, 2 % anak mengalami sulit makan dan 67,1 % anak aktif bermain (Data terlampir). Anak yang aktif tetapi tidak diiringi dengan intake makanan yang cukupo tentu akan menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti penurunan daya tahan tubuh dan mudah terkena penyakit infeksi.

Orang tua memberikan informasi 98, 7 % mereka tidak pernah diikutkan dalam kegiatan UKS (data terlampir) hal iniakan menyulitkan bagi guru dan tenaga kesehatan, karena sulit bekerjasama dengan orangtua dalam mengatur pola makan anak. Dirumahpun anak sering diberi jajan pada sore hari (31,60 %) karena orang tua tidak sempat memberikan makanan selingan.

Orang tua sebetulnya ingin mengikuti kegiatan UKS (93,7 %), hal ini perlu direspon secara positif oleh guru dan tenaga kesehatan. Dalam pemilihan menu makanan umumnya orang tua lebih mengutamakan protein nabati, hal ini dapat dilihat dari data (terlampir) orang tua hampir setiap hari memberikan protein nabati, sedangkan protein hewani 1-2 kali setiap minggu, pemberian susu 2-3 kali seminggu dan buah-buahan 2-3 kali seminggu.

Tabel 3.13 :
Distribusi Penyakit Anak Usia sekolah 6 Bulan terakhir di Kemiri Muka Bulan November 2004

Penyakit
Jumlah
Persentase
Batuk Pilek
8
10,20
Diare
3
3,80
Cacar
1
1,30
Typus
1
1,30
Tidak Ada
66
83,50
Total
79
100 %


Dari tabel 3.13 terlihat penyakit yang terbanyak dialami anak 6 bulan terakhir adalah batuk pilek (10,20 %), walaupun 83,50 % anak tidak mengalami sakit 6 bulan terakhir, akan tetapi melihat pola penyakit yang ada menunjukan banyak penyakit infeksi yang dialami anak.

2. Analisa Data

DATA
DIAGNOSA KEPERAWATAN
- 6,3 % anak sekolah status gizinya
sedang dan 89,9 % status gizi baik.
- 100 % keluarga memberikan uang jajan kepada anaknya.
- Ibu - ibu tidak pernah diikutkan
Dalam kegiatan UKS.
- 31,6 % ibu masih memberikan uang
jajan di rumah.
- Makanan yang disediakan diwarung
Sekolah umumnya adalah makanan
Ringan (ciki, permen dan es)
- Pendidikan bapak umumnya tamat
SLTP (31,6 %) sedangkan pendidikan
ibu umumnya tamat SD (34,2 %)
- Kegiatan UKS selama ini hanya dilakukan jika ada lomba dan tidak secara kontinu.
- Puskesmas belum melaksanalan pembinaan secara berkala.
Risiko Penurunan Status Gizi anak Usia sekolah di kelurahan Kemiri Muka Depok berhubungan dengan Kurangnya pengetahuan tentang pentingnya menu seimbang bagi anak usia sekolah.
- 21,5 % anak menunjukan tanda anemia (konjunctiva pucat).
- Guru mengatakan anaknya banyak yang suka mengantuk saat belajar.
- Ada beberapa anak yang sulit berkosentrasi.
- Umumnya prosetin yang dikosumsi adalah protein nabati, sedangkan protein hewani hanya 2-3 kali setiap minggu.
- 6,3 % anak sekolah status gizinya
sedang dan 89,9 % status gizi baik.
- 100 % keluarga memberikan uang jajan kepada anaknya.
- 31,6 % ibu masih memberikan uang
jajan di rumah.
- Makanan yang disediakan diwarung
Sekolah umumnya adalah makanan
Ringan (ciki, permen dan es)
- Puskesmas belum melaksanalan pembinaan secara berkala.
Risiko meningkatnya anemia defisiensi gizi pada anak usia sekolah di Kelurahan kemiri muka Depok berhubungan dengan Kurangnya intake protein pada makanan anak usia sekolah.


- 10,2 % anak mengalami batuk pilek dalam 6 bulan terakhir dan ada beberapa anak yang menderita diare dan typus dalam 6 bulan terakhir.
- 6,3 % anak sekolah status gizinya
sedang dan 89,9 % status gizi baik.
- 100 % keluarga memberikan uang jajan kepada anaknya.
- 31,6 % ibu masih memberikan uang
jajan di rumah.
- Makanan yang disediakan diwarung
Sekolah umumnya adalah makanan
Ringan (ciki, permen dan es)
- Kegiatan UKS selama ini hanya dilakukan jika ada lomba dan tidak secara kontinu.
- Puskesmas belum melaksanalan pembinaan secara berkala.
- Kosumsi protein hewani sangat kurang.
Risiko terjadinya penyakit infeksi (Diare, ISPA, Typus dll) pada anak usia sekolah di Kelurahan kemiri muka Depok berhubungan Perilaku kosumsi makanan yang salah.

Dari ketiga diagnosa keperawatan diatas, penulis hanya akan melaksanakan implementasi untuk doagnosa yang pertama saja, mengingat waktu yang relatif singkat untuk merubah perilaku masyarakat, khususnya perilaku anak dan orang tua dalam pemberian makanan bergizi pada anak.

3. Perencanaan
Diagnosa I :
Risiko Penurunan Status Gizi anak Usia sekolah di kelurahan Kemiri Muka Depok berhubungan dengan Kurangnya pengetahuan tentang pentingnya menu seimbang bagi anak usia sekolah.

Tujuan Umum :
Penurunan Status gizi pada anak usia sekolah di kemiri Muka dapat dicegah dalam waktu 6 Bulan

Tujuan Khusus :
a). Guru, orang tua memahami pemantauan berat badan anaknya, b). terbentuknya kemitraan antara guru-puskesmas dan orang tua, c). orang tua mampu memberikan makanan menu seimbang sesuai dengan kebutuhan anaknya, d). Guru dapat melakukan pemantaun status gizi anak sekolah dengan melibatkan orang tua,
e). Puskesmas dapat melakukan pembinaan terhadap sekolah.

Rencana Intervensi dan Rasional:
a). Sosialisasikan hasil survey kepada sekolah dan Puskesmas serta masyarakat) (Sosialisasi penting sebagai dasar ilmiah dalam menentukan masalah dimana pengungkapan masalah dengan cara yang ilmiah, sehingga dukungan dari komponen diatas dapat diperoleh dengan relatif lebih mudah), b). lakukan komunikasi yang lebih intensif dengan guru dan Puskesmas (Komunikasi yang lebih intensif akan lebih membuka wawasan sekolah dan Puskesmas tentang pentingnya kegiatan UKS terutama pemantauan status gizi), c). Sepakati rencana tindakan jangka pendek berkaitan dengan pencegahan penurunan status gizi (Kesepakatan penting agar ada kesepahaman dalam waktu dan tanggungjawab), d). lakukan pelatihan pemabtauan tumbuh kembang (pelatihan penting dilakukan agar guru terlatih dalam memonitor status gizi anak), e). diskusikan program jangka panjang dengan Puskesmas dan sekolah (Program jangka panjang perlu direncanakan agar ada kesinambungan kegiatan UKS, khususnya pemantauan status gizi anak), f ). Tuangkan hasil kesepakatan dalam bentuk tertulis / MOU (Kesepakatan tertulis penting agar ada tanggungjawab bersama diantara semua komponen)

4. Implementasi
Pada tanggal 8 Desember 2004 dilakukan sosialisasi hasil survey kepada sekolah, Puskesmas dan tokoh masyarakat, kemudian 13 Desember dilakukan diskusi lebih mendalam tentang hasil survey dan pentingnya kemitraan dalam mengatasi masalah dengan sekolah dan Puskesmas, tanggal 14 disepakati perlunya pelatihan pemantauan tumbuh kembang anak usia sekolah bagi guru-guru di SD kemiri muka dengan nara sumber dari mahasiswa FIK, kemudian dilakukan kesepakatan tentang (jadwal, tempat, jam dan siapa yang diundang), maka tanggal 22 Desember 2004 jam 10.00 s.d 11.30 wib dilakukan pelatihan pemantauan tumbuh kembang yang diukuti 14 guru SD di kelurahan kemiri muka, kemudian disetujui perlu adanya kesepakatan antara sekolah-Puskesmas dan orang tua agar kegiatan UKS khususnya peningkatan status gizi anak usia sekolah dapat dilakuka secara berkala dan kontinu dan tanggal 28 Desember 2004 telah disosialisasikan hasil kegiatan kepada masyarakat dan secara tertulis kepada Puskemas dan sekolah.

5. Evaluasi dan Tindak Lanjut
Karena keterbatasan waktu dalam pelaksanaan implementasi, maka tujuan jangka panjang tidak dapat dievaluasi diakhir kegiatan, maka penulis mencoba melakukan evaluasi beberapa tujuan jangka pendek. Evaluasi menggunakan metode donabedian meliputi evaluasi struktur, proses dan output.

a. Evaluasi Struktur
Pada kegiatan sosialisasi hasil survey perencanaan dilakukan secara terkoordinasi dengan baik antara sekolah, puskesmas, kelurahan dan kader kesehatan serta program praktik spesialis keprawatan komunitas. Kelurahan menyediakan tempat, mencetak dan mendistribusikan undangan serta membantu penyediaan sebagian kosumsi. Begitu juga pada kegiatan diskusi hasil lebih mendalam dengan Puskesmas dan guru, Puskemas dan sekolah bersedia dan menyediakan waktu dalam diskusi sesuai dengan apa yang direncanakan.

Pada saat pelaksaaan pelatihan persiapan berjalan dengan baik, undangan dibuat dan didistribusikan Puskesmas dibantu praktikan, penyiapan tempat disepakati oleh pihak sekolah (SDN kemiri Muka 03), undangan sudah tersebar 2 hari sebelum pelaksanaan, materi disiapkan dan digandakan oleh praktikan, sebelum pelatihan dimulai materi sudah dibagikan ke peserta, undangan datang melebihi dari yang diundang, media dipersiapkan dengan baik dan semua berfungsi dengan baik serta ruangan sudah diatur sedemikian rupa sesuai disain praktikan.

Pada presentasi akhir persiapan agat terburu-buru dan secara mendadak juga ada kegiatan di kecamatan, undangan sudah tersebar satu hari sebelum kegiatan, tempat kegiatan di kelurahan sudah disiapkan dengan baik, akan tetapi dukungan kelurahan kurang karena adanya koordinasi yang kurang baik diantara aparat kelurahan. Dari fihak sekolah ada kesulitan karena adanya kegiatan libus sekolah dan dari Puskesmas kurang mensupport kegiatan dengan alasan sibuk di Puskesmas.

b. Evaluasi Proses
Untuk kegiatan sosialisasi hasil survey dalam proses mahasiswa menyajikan dengan baik hasil survey dan sangat direspon oleh peserta yang hadir. Banyak pertanyaan dari peserta yang hadir, tetapi karena batasan waktu yang telah di setting banyak pertanyaan yang tidak tertampung, akan tetapi pada saat itu sudah disepakati adanya suatu kegiatan yang berkaitan dengan pemantauan tumbuh kembang anak dan juga melibatkan guru TK jangan hanya guru SD.

Proses diskusi dengan sekolah dan Puskesmas juga dapat terlaksana dengan baik, sekolah sangat antusias dengan rencana kegiatan dan siap membantu kegiatan, begitu juga dengan Puskesmas siap membantu kegiatan.

Pada pelaksaan pelatihan terlihat peserta sangat antusias, perserta dapat memahami cara pemantauan tumbuh kembang anak dan dapat melakukan pemantauan tumbuh kembang anak, hal ini dapat dilihat dari latihan yang dilakukan. Dalam kegiatan ini juga banyak muncil pertanyaan serta usulan peserta agar kegiatan UKS lebih terencana dan kontinu. Akan tetapi pihak puskesmas tidak dapat hadir saat kegiatan ini, karena saat bersamaan ada kegiatan BIAS di SD lainnya.

c. Evaluasi output (Hasil)
Kegiatan sosialisasi terlaksana dengan baik dan hasilnya adalah kesepakatan berbagai kegiatan. Negosiasi dengan sekolah dan Puskesmas menghasilkan kesepakatan tentang jadwal pelatihan. Hasil pelatihan menunjukan adanya peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru dalam pemantauan tumbuh kembang anak, hal ini dibuktikan dari 3 guru yang diuji mempraktikan pemantauan tumbuh kembang pada anak, ketiganya dapat melakukan dengan cara yang benar, serta menginterpretasikan dengan baik hasil pengukuran. Kesepakatan pembentukan kemitraan belum terlaksana dengan baik, walaupun ada keinginan dari sekolah. Pihak Puskesmas secara terpisah mengatakan akan mendukung kemitraan tersebut, akan tetapi mengatakan keterbatasan tenaga, makanya kegiatan yang terlaksana hanya BIAS.

Tindak lanjut
Pemantauan tumbuh kembang perlu dilakukan secara teratur dan kontinu oleh guru dibawah binaan Puskesmas. Orang tua juga akan dilibatkan dalam berbagai kegiatan UKS. Puskesmas perlu membina sekolah secara profesional agar kesehatan anak usia sekolah dapat ditingkatkan secara optimal. Pembinaan secara akademis oleh FIK-UI perlu dikembangkan sehingga kemitraan dapat terjalin dengan baik


H. Abi Muhlisin, SKM., M.Kep

Model Adaptasi Callista Roy



PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Keperawatan sebagai suatu profesi yang sampai saat ini masih dianggap profesi yang kurang eksis, kurang profesional, bahkan kurang menjanjikan dalam hal finansial. Oleh karena itu keperawatan harus berusaha keras untuk menunjukkan pada dunia luar, di luar dunia keperawatan bahwa keperawatan juga bisa sejajar dengan profesi – profesi lain. Tugas ini akan terasa berat bila perawat-perawat Indonesia tidak menyadari bahwa eksistensi keperawatan hanya akan dapat dicapai dengan kerja keras perawat itu sendiri untuk menunjukkan profesionalismenya dalam memberikan pelayanan kesehatan terutama pelayanan keperawatan baik kepada individu, keluarga maupun masyarakat.
Salah satu cara untuk menunjukkan eksistensi keperawatan adalah dengan mengembangkan salah satu model pelayanan keperawatan yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Model keperawatan Roy, dikenal dengan model adaptasi dimana Roy memandang setiap manusia pasti mempunyai potensi untuk dapat beradaptasi terhadap stimulus baik stimulus internal maupun eksternal dan kemampuan adaptasi ini dapat dilihat dari berbagai tingkatan usia.
Aplikasi proses keperawatan menurut konsep teori Roy di Rumah Sakit telah banyak diterapkan namun sedikit sekali perawat yang mengetahui dan memahami bahwa tindakan keperawatan tersebut telah sesuai. Bahkan perawat melaksanakan asuhan keperawatan tanpa menyadari sebagian tindakan yang telah dilakukan pada klien adalah penerapan konsep teori Roy.
Oleh karena itu, kelompok memandang perlu untuk mengetahui dan mengkaji lebih jauh tentang penerapan model keperawatan yang sesuai dengan teori Sister Callista Roy di lapangan atau rumah sakit, sehingga dapat diketahui apakah teori Roy dapat diaplikasikan dengan baik dalam pelayanan keperawatan/ asuhan keperawatan .

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mampu memahami konsep model keperawatan menurut Roy dalam manajemen Asuhan Keperawatan
2. Tujuan Khusus
a. Memahami konsep model teori Roy
b. Mampu menghubungkan model konsep Roy dengan proses keperawatan
c. Mampu mengevaluasi/menilai proses keperawatan di RS dengan konsep Roy pada mode fisiologi sub kebutuhan cairan
d. Mendapatkan gambaran kondisi pelaksanaan konsep Roy di RS pada mode fisiologis sub kebutuhan cairan

C. SISTEMATIKA PENULISAN
Makalah ini terdiri dari 5 bab yang terdiri dari : bab I pendahuluan, bab II model konsep/ teori Roy, bab III standar keperawatan menurut Roy, bab IV rencana pengkajian lapangan, bab V kesimpulan dan saran.





BAB II
KONSEP DASAR MODEL KEPERAWATAN DAN PROSES KEPERAWATAN MENURUT SISTER CALISTA ROY


A. Konsep Dasar Model Keperawatan Sister Calista Roy
Sister Calissta Roy yang lahir di Los Angeles pada tanggal 14 Oktober 1939, Roy mengembangkan ilmu dan filosofinya berdasarkan 3 asumsi dasar, yaitu :
1. Asumsi dari Teori Sistem
a. System adalah seperangkat bagian yang saling berhubungan dari satu bagian ke bagian lain
b. Sistem adalah bagian dari yang berfungsi bagian yang satu dengan yang lain saling
ketergentungan
c. Sistem mempunyai input, out put, control, proses dan umpan balik
d. Input merupakan umpan balik yang juga disebut informasi
e. Sistem kehidupan lebih kompleks dari system mekanik, mempunyai standard dan umpan balik langsung terhadap fungsinya.
2. Asumsi dari Teori Melson
a. Perilaku manusia adalah hasil adaptasi dari lingkungan dan kekuatan organisme
b. Perilaku adaptif adalah berfungsinya stimulus dan tingkatan adaptasi, yang dapat
berpengaruh terhadap stimulus fokal, stimulus kontekstual, dan stimulus residual.
c. Adaptasi adalah proses adanya respon positif terhadap perubahan lingkungan
d. Respon merupakan refkleksi keadaan organisme terhadap stimulus
3. Asumsi dari Humanism
a. Individu mempunyai kekuatan kreatif
b. Perilaku individu mempunyai tujuan dan tidak selalu dalam lingkaran sebab akibat
c. Manusia merupakan makhluk holistic
d. Opini manusia dan nilai yang akan datang
e. mobilisasi antar manusia bermakna

B. Teori Adaptasi Sister Calista Roy
Dalam asuhan keperawatan, menurut Roy (1984) sebagai penerima asuhan keperawatan adalah individu, keluarga, kelompok, masyarakat yang dipandang sebagai “Holistic adaptif system”dalam segala aspek yang merupakan satu kesatuan.
System adalah Suatu kesatuan yang di hubungkan karena fungsinya sebagai kesatuan untuk beberapa tujuan dan adanya saling ketergantungan dari setiap bagian-bagiannya. System terdiri dari proses input, autput, kontrol dan umpan balik ( Roy, 1991 ), dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Input
Roy mengidentifikasi bahwa input sebagai stimulus, merupakan kesatuan informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan respon, dimana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu stimulus fokal, kontekstual dan stimulus residual.
a. Stimulus fokal yaitu stimulus yang langsung berhadapan dengan seseorang, efeknya segera, misalnya infeksi .
b. Stimulus kontekstual yaitu semua stimulus lain yang dialami seseorang baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diobservasi, diukur dan secara subyektif dilaporkan. Rangsangan ini muncul secara bersamaan dimana dapat menimbulkan respon negatif pada stimulus fokal seperti anemia, isolasi sosial.
c. Stimulus residual yaitu ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan dengan situasi yang ada tetapi sukar untuk diobservasi meliputi kepercayan, sikap, sifat individu berkembang sesuai pengalaman yang lalu, hal ini memberi proses belajar untuk toleransi. Misalnya pengalaman nyeri pada pinggang ada yang toleransi tetapi ada yang tidak.

2. Kontrol
Proses kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme koping yang di gunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi atas regulator dan kognator yang merupakan subsistem.

a) Subsistem regulator.
Subsistem regulator mempunyai komponen-komponen : input-proses dan output. Input stimulus berupa internal atau eksternal. Transmiter regulator sistem adalah kimia, neural atau endokrin. Refleks otonom adalah respon neural dan brain sistem dan spinal cord yang diteruskan sebagai perilaku output dari regulator sistem. Banyak proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator subsistem.
Gambar 2.1…..






























b) Subsistem kognator.
Stimulus untuk subsistem kognator dapat eksternal maupun internal. Perilaku output dari regulator subsistem dapat menjadi stimulus umpan balik untuk kognator subsistem. Kognator kontrol proses berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi, penilaian dan emosi. Persepsi atau proses informasi berhubungan dengan proses internal dalam memilih atensi, mencatat dan mengingat. Belajar berkorelasi dengan proses imitasi, reinforcement (penguatan) dan insight (pengertian yang mendalam). Penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan adalah proses internal yang berhubungan dengan penilaian atau analisa. Emosi adalah proses pertahanan untuk mencari keringanan, mempergunakan penilaian dan kasih sayang.
Gambar 2.2 .....























3. Output.
Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapt di amati, diukur atau secara subyektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun dari luar . Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy mengkategorikan output sistem sebagai respon yang adaptif atau respon yang tidak mal-adaptif. Respon yang adaptif dapat meningkatkan integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat bila seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi dan keunggulan. Sedangkan respon yang mal adaptif perilaku yang tidak mendukung tujuan ini.
Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk menjelaskan proses kontrol seseorang sebagai adaptif sistem. Beberapa mekanisme koping diwariskan atau diturunkan secara genetik (misal sel darah putih) sebagai sistem pertahanan terhadap bakteri yang menyerang tubuh. Mekanisme yang lain yang dapat dipelajari seperti penggunaan antiseptik untuk membersihkan luka. Roy memperkenalkan konsep ilmu Keperawatan yang unik yaitu mekanisme kontrol yang disebut Regulator dan Kognator dan mekanisme tersebut merupakan bagian sub sistem adaptasi.

Gambar 2.3 Sistem adaptasi menurut Roy
Stimulus
Tingkat
Adaptasi
Mekanisme
koping
Regulator
Kognator

Fungsi fisiologis
Konsep diri
Fungsi peran
Interdepedensi
Respon adaptif
dan
Tdk Efektif


(Sister Callista Roy, 1991)
Dalam memelihara integritas seseorang, regulator dan kognator subsistem diperkirakan sering bekerja sama. Tingkat adaptasi seseorang sebagai sistem adaptasi dipengaruhi oleh perkembangan individu itu sendiri, dan penggunaan mekanisme koping. Penggunaan mekanisme koping yang maksimal mengembangkan tingkat adaptasi seseorang dan meningkatkan rentang stimulus agar dapat berespon secara positif. Untuk subsistem kognator, Roy tidak membatasi konsep proses kontrol, sehingga sangat terbuka untuk melakukan riset tentang proses kontrol dari subsitem kognator sebagai pengembangan dari konsep adaptasi Roy. Selanjutnya Roy mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem adaptasi dengan menetapkan sistem efektor, yaitu 4 mode adaptasi meliputi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.

a. Mode Fungsi Fisiologi
Fungsi fisiologi berhubungan dengan struktur tubuh dan fungsinya. Roy mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar fisiologis yang harus dipenuhi untuk mempertahankan integritas, yang dibagi menjadi dua bagian, mode fungsi fisiologis tingkat dasar yang terdiri dari 5 kebutuhan dan fungsi fisiologis dengan proses yang kompleks terdiri dari 4 bagian yaitu :
a. Oksigenasi : Kebutuhan tubuh terhadap oksigen dan prosesnya, yaitu ventilasi, pertukaran gas dan transpor gas (Vairo,1984 dalam Roy 1991).
b. Nutrisi : Mulai dari proses ingesti dan asimilasi makanan untuk mempertahankan fungsi, meningkatkan pertumbuhan dan mengganti jaringan yang injuri. (Servonsky, 1984 dalam Roy 1991).
c. Eliminasi : Yaitu ekskresi hasil dari metabolisme dari instestinal dan ginjal. ( Servonsky, 1984 dalam Roy 1991)
d. Aktivitas dan istirahat : Kebutuhan keseimbangan aktivitas fisik dan istirahat yang digunakan untuk mengoptimalkan fungsi fisiologis dalam memperbaiki dan memulihkan semua komponen-komponen tubuh. (Cho,1984 dalam Roy, 1991).
e. Proteksi/ perlindungan : Sebagai dasar defens tubuh termasuk proses imunitas dan struktur integumen ( kulit, rambut dan kuku) dimana hal ini penting sebagai fungsi proteksi dari infeksi, trauma dan perubahan suhu. (Sato, 1984 dalam Roy 1991).
f. The sense / perasaan : Penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa dan bau memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungan . Sensasi nyeri penting dipertimbangkan dalam pengkajian perasaan.( Driscoll, 1984, dalam Roy, 1991).
g. Cairan dan elektrolit. : Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalamnya termasuk air, elektrolit, asam basa dalam seluler, ekstrasel dan fungsi sistemik. Sebaliknya inefektif fungsi sistem fisiologis dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit. (Parly, 1984, dalam Roy 1991).
h. Fungsi syaraf / neurologis : Hubungan-hubungan neurologis merupakan bagian integral dari regulator koping mekanisme seseorang. Mereka mempunyai fungsi untuk mengendalikan dan mengkoordinasi pergerakan tubuh, kesadaran dan proses emosi kognitif yang baik untuk mengatur aktivitas organ-organ tubuh (Robertson, 1984 dalam Roy, 1991).
i. Fungsi endokrin : Aksi endokrin adalah pengeluaran horman sesuai dengan fungsi neurologis, untuk menyatukan dan mengkoordinasi fungsi tubuh. Aktivitas endokrin mempunyai peran yang signifikan dalam respon stress dan merupakan dari regulator koping mekanisme ( Howard & Valentine dalam Roy,1991).

2. Mode Konsep Diri
Mode konsep diri berhubungan dengan psikososial dengan penekanan spesifik pada aspek psikososial dan spiritual manusia. Kebutuhan dari konsep diri ini berhubungan dengan integritas psikis antara lain persepsi, aktivitas mental dan ekspresi perasaan. Konsep diri menurut Roy terdiri dari dua komponen yaitu the physical self dan the personal self.
a. The physical self, yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya. Kesulitan pada area ini sering terlihat pada saat merasa kehilangan, seperti setelah operasi, amputasi atau hilang kemampuan seksualitas.
b. The personal self, yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral- etik dan spiritual diri orang tersebut. Perasaan cemas, hilangnya kekuatan atau takut merupakan hal yang berat dalam area ini.
3. Mode Fungsi Peran
Mode fungsi peran mengenal pola –pola interaksi sosial seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, yang dicerminkan dalam peran primer, sekunder dan tersier. Fokusnya pada bagaimana seseorang dapat memerankan dirinya dimasyarakat sesuai kedudukannya .
4. Mode Interdependensi
Mode interdependensi adalah bagian akhir dari mode yang dijabarkan oleh Roy. Fokusnya adalah interaksi untuk saling memberi dan menerima cinta/ kasih sayang, perhatian dan saling menghargai.
Interdependensi yaitu keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian dalam menerima sesuatu untuk dirinya. Ketergantungan ditunjukkan dengan kemampuan untuk afiliasi dengan orang lain. Kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan berinisiatif untuk melakukan tindakan bagi dirinya. Interdependensi dapat dilihat dari keseimbangan antara dua nilai ekstrim, yaitu memberi dan menerima.
Model keempat mode yang saling berinteraksi dapat dilihat pada gambar dibawah ini:


C. Paradigma Keperawatan Menurut Sister Calista Roy

Empat Elemen utama dari teori Roy adalah : 1) Manusia sebagai penerima asuhan keperawatan 2) Konsep lingkungan 3) Konsep sehat dan 4) Keperawatan. Dimana antara keempat elemen tersebut saling mempengaruhi satu sama lain karena merupakan suatu sistem.

1. Manusia
Manusia merupakan fokus utama yang perlu diperhatikan karena manusialah yang menjadi penerima asuhan keperawatan, baik itu individu, keluarga, kelompok maupun masyarakat, yang dipandang sebagai “Holistic Adaptif System”. Dimana “Holistic Adaptif System “ ini merupakan perpaduan antara konsep sistem dan konsep adaptasi.

a. Konsep Sistem
Roy memandang manusia sebagai mahluk holistik yang dalam sistem kehidupannya akan selalu berinteraksi dengan lingkungannya, dimana diantara keduanya akan terjadi pertukaran informasi, “matter” dan energi. Adapun karakteristik sistem menurut Roy adalah input, output, kontrol dan feed back . seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.5 : Gambar sistem dalam bentuk sederhana

CONTROL

FEED

BACK

IN PUTS

OUT PUTGambar di atas menunjukkan suatu sistem terbuka yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain, dimana kualitas suatu sistem sangat tergantung pada manusia itu sendiri.

b. Konsep Adaptasi
Konsep adaptasi dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.6 : Gambar manusia sebagai sistem terbuka


COPING
MECHANISMS
FEED

BACK

ADAPTATION
LEVEL
STIMULI

RESPON
SES
Gambar diatas menunjukkan manusia sebagai suatu sistem terbuka, yang terdiri dari input berupa stimulus dan tingkatan adaptasi, output berupa respon perilaku yang dapat menyediakan feed back/ umpan balik dan proses kontrol yang diketahui sebagai mekanisme koping (Roy and Andrew, 1991 dalam Nursing Theory ; 254)
Output dalam sistem adaptasi ini berupa respon perilaku individu yang dapat dikaji oleh perawat baik secara objektif maupun subjektif. Respon perilaku ini dapat menjadi umpan balik bagi individu maupun lingkungannya. Roy mengkategorikan output dari sistem adaptasi ini berupa respon adaptif dan respon inefektif. Respon adaptif dapat meningkatkan integritas individu sedangkan respon inefektif tidak dapat mendukung untuk pencapaian tujuan perawatan individu.
Roy menggunakan istilah mekanisme koping untuk menggambarkan proses kontrol individu dalam sistem adaptasi ini. Beberapa koping ada yang bersifat genetik seperti : WBC (sel darah putih) sebagai benteng pertahanan tubuh terhadap adanya kuman, sedangkan beberapa koping lainnya ada yang merupakan hasil belajar seperti : menggunakan antiseptik untuk membersihkan luka. Dalam mekanisme kontrol ini, Roy menyebutnya dengan istilah “Regulator” dan “Cognator”. Transmitter dari sistem regulator berupa kimia, neural atau sistem saraf dan endokrin, yang dapat berespon secara otomatis terhadap adanya perubahan pada diri individu. Respon dari sistem regulator ini dapat memberikan umpanbalik terhadap sistem cognator. Proses kontrol cognator ini sangat berhubungan dengan fungsi otak dalam hal fungsi persepsi atau memproses informasi, pengambilan keputusan dan emosi.

2. Lingkungan
Stimulus yang berasal dari individu dan sekitar individu merupakan elemen dari lingkungan, menurut Roy. Lingkungan didefinisikan oleh Roy adalah “ Semua kondisi, keadaan dan pengaruh-pengaruh disekitar individu yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku individu dan kelompok “(Roy and Adrews, 1991 dalam Nursing Theory : 260) . Dalam hal ini Roy menekankan agar lingkungan dapat didesign untuk meningkatkan kemampuan adaptasi individu atau meminimalkan resiko yang akan terjadi pada individu terhadap adanya perubahan.

3. Sehat
Roy mendefinisikan sehat adalah “A State and a process of being and becoming an integrated and whole person” (Roy and Adrews, 1991 dalam Nursing Theory : 261). Integritas individu dapat ditunjukkan dengan kemampuan untuk mempertahankan diri, tumbuh, reproduksi dan “mastery”. Asuhan keperawatan berdasarkan model Roy bertujuan untuk meningkatkan kesehatan individu dengan cara meningkatkan respon adaptifnya.

4. Keperawatan
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa tujuan keperawatan menurut Roy adalah meningkatkan respon adaptif individu dan menurunkan respon inefektif individu, dalam kondisi sakit maupun sehat. Selain meningkatkan kesehatan di semua proses kehidupan, keperawatan juga bertujuan untuk mengantarkan individu meninggal dengan damai.
Untuk mencapai tujuan tersebut, perawat harus dapat mengatur stimulus fokal, kontekstual dan residual yang ada pada individu, dengan lebih menitikberatkan pada stimulus fokal, yang merupakan stimulus tertinggi.

B. PROSES KEPERAWATAN MENURUT TEORI ROY

Menurut Roy elemen dari proses keperawatan meliputi pengkajian tingkat pertama dan kedua, diagnosa keperawatan, penentuan tujuan, intervensi dan evaluasi.
Fokus dari model ini adalah adaptasi dan tujuan pengkajian adalah mengidentifikasi tingkah laku yang aktual dan potensial apakah memperlihatkan maladaptif dan mengidentifikasi stimulus atau penyebab perilaku maladaptif. Empat mode adaptasi dapat digunakan sebagi dasar kerangka kerja untuk pedoman pengkajian. Mode ini juga meliputi psikologis, konsep diri, fungsi peran dan model interdependensi.
Roy merekomendasikan pengkajian dibagi menjadi dua bagian, yaitu pengkajian tahap dan pengkajian tahap II.

1. Tahap I : Pengkajian perilaku
Ini merupakan tahap proses keperawatan yang bertujuan mengumpulkan data dan memutuskan klien adaptif atau maladaptif. Termasuk dalam model ini adalah kebutuhan dasar manusia apakah dapat dipengaruhi oleh kekurangan atau kelebihan. misalnya terlalu sedikit oksigen , terlalu tinggi gula darah atau terlalu banyak ketergantungan. Perawat menggunakan wawancara, observasi dan pengukuran untuk mengkaji perilaku klien sekarang pada setiap mode. Berdasarkan pengkajian ini perawat menganalisis apakah perilaku ini adaptif, maladaptif atau potensial maladaptif.

2. Tahap II : Pengkajian faktor – faktor yang berpengaruh
Pada tahap ini termasuk pengkajian stimuli yang signifikan terhadap perubahan perilaku seseorang yaitu stimuli focal, kontekstual dan residual.
a. Identifikasi stimuli focal
Stimuli focal merupakan perubahan perilaku yang dapat diobservasi. Perawat dapat melakukan pengkajian dengan menggunakan pengkajian perilaku yaitu: keterampilan melakukan observasi, melakukan pengukuran dan interview.
b. Identifikasi stimuli kontekstual
Stimuli kontekstual ini berkontribusi terhadap penyebab terjadinya perilaku atau presipitasi oleh stimulus focal. Sebagai contoh anak yang di rawat dirumah sakit mempunyai peran perilaku yang inefektif yaitu tidak belajar. Focal stimulus yang dapat diidentifikasi adalah adanya fakta bahwa anak kehilangan skedul sekolah. Stimulus kontekstual yang dapat diidentifikasi adalah secara internal faktor anak menderita sakit dan faktor eksternalnya adalah anak terisolasi. Stimulasi kontekstual dapat diidentifikasi oleh perawat melalui observasi, pengukuran, interview dan validasi.
Menurut Martinez, 1976 dalam Roy 1989, faktor kontekstual yang mempengaruhi mode adaptif adalah genetic, sex, tahap perkembangan, obat, alkohol, tembakau, konsep diri, peran fungsi, interdependensi, pola interaksi sosial, koping mekanisme, stress emosi dan fisik religi, dan lingkungan fisik.
c. Identifikasi stimuli residual
Pada tahap ini yang mempengaruhi adalah pengalaman masa lalu. Helson dalam Roy, 1989 menjelaskan bahwa beberapa faktor dari pengalaman lalu relevan dalam menjelaskan bagaimana keadaan saat ini. Sikap, budaya, karakter adalah faktor residual yang sulit diukur dan memberikan efek pada situasi sekarang.

3. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut teori adaptasi Roy didefinisikan sebagai suatu hasil dari proses pengambilan keputusan berhubungan dengan kurang mampunya adaptasi. Diagnosa keperawatan dirumuskan dengan mengobservasi tingkahlaku klien terhadap pengaruh lingkungan. Menurut Roy (1991) ada 3 metode dalam membuat diagnosa keperawatan :
a. Menggunakan 4 (empat) model adaptif, yaitu fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependen
Tabel 2.1. Tipologi masalah adaptasi menurut Roy, 1989

TIPOLOGI ADAPTASI
MASALAH
A.Physiological model
1.Oksigenasi

Hipoksia/shock
Kerusakan ventilasi
Ketidakadequat pertukaran gas
Perubahan perfusi jaringan
Ketidakmampuan dlm proses kompensasi pada perubahan kebutuhan oksigen

2.Nutrisi
Nutrisi kurang / lebih dari kebutuhan tubuh
Anoreksia
Nausea / Vomiting
Ketidak efektifan strategi koping thd penurunan ingestik

3.Eliminasi
D i a r e
Inkontinensia
Konstipasi
Retensi urine
Ketidakefektifan strategi koping thp penurunan fungsi eliminasi.

4. Aktifitas dan istirahat
Ketidak adequate aktifitas & istirahat
Keterbatasan mobilitas & Koordinasi
Intoleransi aktifitas
Immobilisasi
Sleep deprivation
Resiko gangguan pola tidur
Kelelahan (Fatigue)

5. Proteksi
Gatal-gatal
Infeksi
Ketidak efektifan koping thd perubahan status imun
Kulit Kering

6. Sense
Resiko injuri
Kehilangan kemampuan self-care
Resiko distorsi komunikasi
Stigma
Sensori monoton / distorsi
Nyeri akut
Gangg. Persepsi
Koping tak efektif thd perubahan sensori


7. Cairan dan elektrolit
D e h i d r a s i
Udem
Retensi cairan intra sel
Hyper/Hypo Kalsemia, kalemia, Natrium
Ketidakseimbngan asam-basa
Ketidakefektifan regulasi system Bufer pda perub. pH.

8. Fungsi neurologi
Penurunan tingkat kesadaran
Pengurangan fungsi memori (daya ingat)
Konpensasi tak efektif pd penurunan fgs. kognitif
Resiko terjadi kerusakan otak sekunder

9. Fungsi endokrin
Ketidakefektifan regulasi/pengaturan hormon yg direfleksikan dlm fatigue, iritabilitas dan intoleransi pd panas
Ktdk efektifan perkembangan reproduksi
Ktdk stabilan system hormon
Ktdk stabilan siklus internal stress.
B. SELF KONSEP MODE

1. Physical Self
Gangguan body image
Disfungsi seksual
Kehilangan
Rape Trauma syndrome

2. Personal self
Ansietas
Ketidak berdayaan
Perasaan bersalah
Harga diri rendah

C. ROLE FUNCTION MODE
Transisi Peran
Konflik Peran
Gangguan / Kehilangan Peran

D.INTERDEPENDENSI
MODE
Kesepian
Cemas karena perpisahan

b. Mengobservasi respon klien yang paling menonjol pada satu mode adaptif, misalnya ; mode fisisiologis sub kebutuhan cairan.
Contoh kasus untuk diare intake : 1200 ml, out put : 3500 ml, keluhan haus (+), turgor tidak elastis, kelopak mata tampak cekung. Dari respon pasien tersbut dapat disimpulkan bahwa diagosa keperawatan pasien menurut Roy adalah defisit volume cairan.
c. Menyimpulkan respon klien dari satu atau lebih dari mode adaptif yang terkait dengan stimulus yang sama. Misalnya mode yang terganggu adalah : mode fisiologis, konsep diri dan interdependensi.
Contoh kasus ; klien mengeluh tidak mau makan, makan hanya habis ¼ porsi, BB turun 2 Kg dari normal. Dari data tersebut klien mengalami gangguan kebutuhan nutrisi : nutrisi kurang dari kebutuhan (mode fisiologis). Karena klien kekurangan nutrisi mengakibatkan posturnya tampak kurus, hal ini membuat klien mengalami gangguan Body Image ( Mode Konsep diri ), kondisi ini juga mengakibatkan klien tidak dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari ( Mode Interdependensi )
4. Penentuan tujuan
Roy (1984) menyampaikan bahwa secara umum tujuan pada intervensi keperawatan adalah untuk mempertahankan dan mempertinggi perilaku adaptif dan mengubah perilaku inefektif menjadi adaptif. Penentuan tujuan dibagi atas tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang yang akan dicapai meliputi : Hidup, tumbuh, reproduksi dan kekeuasaan. Tujuan jangka pendek meliputi tercapainya tingkah laku yang diharapkan setelah dilakukan manipulasi terhadap stimulus focal, konteksual dan residual.
5. Intervensi
Intervensi keperawatan dilakukan dengan tujuan , mengubah atau memanipulasi stimulus fokal, kontekstual dan residual, juga difokuskan pada koping individu atau zona adaptasi, sehingga seluruh rangsang sesuai dengan kemampuan individu untuk beradaptasi.
Tindakan keperawatan berusaha membantu stimulus menuju perilaku adaptif. Hal ini menekankan kembali pentingnya mengidentifikasi penyebab selama pengkajian tahap II.

6. Evaluasi
Evaluasi merupakan penilaian efektifitas terhadap intervensi keperawatan sehubungan dengan tingkah laku pasien. Perawat harus mengkaji tingkah laku pasien setelah diimplementasi. Intervensi keperawatan dinilai efektif jika tingkah laku pasien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.


H. Abi Muhlisin, SKM., M.Kep

Promosi Kesehatan TBC

Wisuda: Magister Keperawatan

PENDAHULUAN

Promosi Kesehatan adalah proses memberdayakan masyarakat untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya melalui peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan serta pengembangan lingkungan sehat.
Promosi Kesehatan “menggarap” aspek perilaku, yaitu untuk memotivasi, mendorong dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki masayarakat agar mereka mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Dalam Promosi Kesehatan, individu dan masyarakat bukan menjadi objek (sasaran) melainkan sebagai subjek (pelaku). Dalam hal ini masalah kesehatan bukan hanya menjadi urusan sektor kesehatan saja tetapi juga sektor terkait lainnya termasuk sektor swasta (dunia usaha) yang dilakukan secara kemitraan.
Melalui kemitraan diharapkan swasta beserta pemerintah dan masyarakat juga para pekerja di dunia usaha mengembangkan Promosi Kesehatan.
Keberhasilan kemitraan dalam mengembangkan Promosi Kesehatan dapat bila satu sama lain dapat mengembangkan ide-ide yang baru melakukan komunikasi yang efektif dan bekerja sama dalam melakukan Promosi Kesehatan.
Itu semua diperlukan karena kesehatan masyarakat perlu diupayakan dan diperjuangkan serta ditingkatkan mutunya sehingga sumber daya masyarakat akan meningkat dan dapat bersaing dalam era globalisasi.

PENGERTIAN KEMITRAAN

Kata kemitraan seringkali diucapkan sampai berlebihan, sering juga digunakan salah dan itu mungkin tergantung siapa yang berbicaradan dalam lingkup apa hal tersebut dibicarakan. Dalam dunia bisnis kata kemitraan sering diartikan sebagai “kerja sama dibidang komersial atau disebut juga joint comercial ventures”. Dalam dunia donor pengertian itu dapat diartikan sebagai “paket bantuan keuangan” dan di pemerintah, ini sering diartikan sebagai “ambil bagian dalam tanggung jawab”. Untuk itu secara keseluruhan kemitraan dapat didefinisikan sebagai:
¨ Upaya untuk melibatkan berbagai sektor, kelompok masyarakat, lembaga pemerintah maupun bukan pemerintah, untuk bekerja sama dalam mencapai suatu tujuan bersama berdasarkan atas kesepakatan prinsip dan peranan masing-masing.

Kemitraan dengan Swasta dalam bidang Promosi Kesehatan adalah:
Upaya untuk melibatkan berbagai sektor pemerintah dan swasta serta kelompok organisasi masyarakat pekerja, yang bekerja sama saling mengun tungkan, terbuka dan setara guna memperbaiki kesehatan dan mutu kehidupan masyarakat pekerja dimanapun berada.
Kita mempunyai benyak masalah, untuk mendapatkan jalan peme cahannya perlu dilakukan tahap demi tahap dengan bekerja sama melalui KEMITRAAN sehingga didapatkan pemecahannya yang baik.

TUJUAN KEMITRAAN

Tujuan kemitraan dengan swasta dalam pengembangan promosi kesehatan adalah:
1. Meningkatkan koordinasi untuk memenuhi kewajiban peran masing-masing dalam pembangunan kesehatan.
2. Meningkatkan komunikasi antar sektor swata dan pemerintah tentang masalah kesehatan.
3. Meningkatkan kemampuan bersama dalam menanggulangi bahaya yang berhubungan dengan kesehatan dan memaksimalkan keuntungan semua pihak.
4. Meningkatkan apa yang menjadi komitmen dan yang diharapkan bersama dalam bidang kesehatan.
5. Meningkatkan upaya promosi kesehatan dengan kebersamaan dalam sumber daya, kesulitan dan keberhasilan, sehingga tercapainya upaya kesehatan yang efisien, efektif dan ekonomis.

MITRA

Adapun Mitra dalam kesehatan adalah:
1. Sektor pemerintah terkait dengan kesehatan.
2. Sektor swasta terkait (dunia usaha).
3. Organisasi pengusaha dan organisasi pekerja.
4. Kelompok media massa.

PEMERINTAH
ORGANISASI PEKERJA ATAU PENGUSAHA
SWASTA
·
·
·MEDIA MASSA


DIMANA dan KAPAN DILAKUKAN?
Kemitraan dengan sektor swasta dalam mendukung Promosi Kesehatan dapat dilakukan secara regional, nasional dan lokal, dalam mendukung kegiatan di provinsi, kabupaten dan kecamatan serta di desa. Kegiatan ini dapat dilakukan sesuai dengan keadaan setempat, atau adanya peristiwa-peristiwa khusus yang berkaitan dengan kesehatan, seperti yang terjadi baru-baru ini pada hari kesehatan nasional, dimana diperlukan sekali kemitraan dengan masyarakat dan lintas sektor serta sektor swasta lain dalam mensukseskan kegiatan tersebut. Adapun kegiatannya dapat dikonsentrasikan pada:
1. Tempat-tempat kerja pada dunia usaha dan pemerintah.
2. Tempat-tempat umum.
3. Tempat lerja pada sarana-sarana kesehatan.

BAGAIMANA MELAKUKANNYA
Dalam melakukan kemitraan dengan sektor swasta untuk promosi kesehatan perlu diperhatikan beberapa prinsip dasar dan persyaratan dan beberapa langkah yang dapat dilakukan, sehingga apa yang ingin kita capai bersama dengan mitra dapat tercapai secara maksimal, hal ini dapat dilihat di bawah ini:
1. PERSYARATAN KEMITRAAN
Kemitraan memberikan nilai tambah/kekuatan kepada masing-masing sektor untuk melaksanakan misinya masing-masing. Namun kemitraan juga merupakan suatu pendekatan yang memerlukan persyaratan tertentu yaitu:
Pertama, harus ada saling pengertian mengapa kemitraan diperlukan. Kemitraan hendaknya jangan disalah artikan hanya sebagai dukungan pembiayaan dari sponsor belaka. Sebagai patokan umum dapat dikatakan bahwa kemitraan haruslah menghasilkan sesuatu yang menuju arah perbaikan kesehatan sehingga keberadaannya memang benar-benar diperlukan dan dipertahankan.
Kedua, haruslah ada kesepakatan visi, nilai-nilai yang sama mengenai kesehatan, komitmen bersama untuk menanggulangi suatu masalah bersama apakah itu berupa Kepincangan Sosial ataupun sebuah epidemi. Rasa memiliki kebutuhan yang sama merupakan landasan yang kuat untuk membina dan mengembangkan kemitraan. Komitmen tersebut harus meliputi semua tingkatan dari organisasi yang bermitra, bukan saja bagi penentu kebijakan tetapi juga para petugas lapangan, karena pada akhirnya para petugas lapangan itulah yang akan menentukan berhasil atau tidaknya suatu kemitraan.

Setiap anggota dari suatu kemitraan haruslah berpijak pada landasan yang sama pula. Pengalaman menunjukkan apabila dalam suatu upaya bersama ada satu sektor yang secara sadar ataupun tidak sadar mengatakan bahwa sektornyalah yang merupakan mitra utama, maka kemitraan akan sulit dikembangkan secara maksimal. Sikap ini merupakan salah satu sebab mengapa sektor sering mengalami kesulitan dalam mengembangkan kemitraannya.
Yang penting adalah bahwa sektor kesehatan harus dapat meyakinkan mitra lainnya bahwa kebaikan kesehatan berarti pula perbaikan mutu kehidupan secara keseluruhan.
2. LANDASAN 7 SALING
Dalam melakukan kemitraan dengan pihak swasta untuk pengembangan promosi kesehatan perlu mempunyai landasan 7 saling yaitu:
a. Saling memahami kedudukan, tugas, dan fungsi masing-masing.
b. Saling memahami kemampuan masing-masing.
c. Saling menghubungi.
d. Saling mendekati.
e. Saling bersedia membantu dan dibantu.
f. Saling mendorong dan mendukung.
g. Saling menghargai.
3. PRINSIP DASAR
Secara garis besar, pengembangan kemitraan promosi kesehatan dengan swasta maupun lintas sektoral dapat dilakukan dengan melakukan 3 prinsip dasar yaitu:
a. Kesetaraan
Artinya bahwa setiap mitra kerja dalam hal ini sektor swasta dalam melaksanakan promosi kesehatan patut dihormati dan diberi pengakuan dalam hal kemampuan dan nilai-nilai yang dimiliki mereka serta memberikan kepercayaan penuh kepada masing-masing mitra dalam pelaksanaan promosi kesehatan.
b. Keterbukaan
Kemitraan tidak dapat berjalan dengan baik bila ada ketidak percayaan atau saling merahasiakan sesuatu diantara lintas sektor dan swasta dalam pelaksanaan promosi kesehatan.
Tetapi ini tidak mengartikan bahwa setiap mitra kerja harus mengetahui segala sesuatunya tentang masing-masing. Mereka harus mempunyai keyakinan bahwa mereka akan melakukan perjanjian dengan terbuka dan jujur dalam rencana pelaksanaan promosi kesehatan.
c. Saling menguntungkan
Hal ini tidak semudah seperti apa yang kita ucapkan. Kemitraan dalam promosi kesehatan benar-benar hanya mendukung apabila semua yang terlibat dalam hal ini Lintas sektor dan swasta saling melihat keuntungan dari kemitraan tersebut.
4. LANGKAH PELAKSANAAN:
a. Penjajagan.
Untuk melakukan kemitraan, perlu melakukan penjajagan dengan calon mitra kerja, bukan hanya satu mitra, tetapi juga mitra lainnya yang dianggap potensial untuk menyelesaikan masalah kesehatan yang dihadapi.
b. Penyamaan persepsi.
Agar diperoleh pandangan yang sama dalam penanganan masalah yang dihadapi bersama, maka para mitra perlu bertemu untuk saling memahami kedudukan, tugas dan fungsi serta peran masing-masing secara terbuka dan kekeluargaan.
c. Pengaturan peran.
Peran masing-masing mitra di dalam penanggulangan suatu masalah sangatlah penting. Apa peran sektor kesehatan, peran sektor lain, dan peran swasta sangatlah penting untuk dipahami dan disepakati bersama. Lebih baik pengaturan peran ini tertulis secara jelas dan merupakan dokumen yang resmi.
d. Komunikasi intensif.
Untuk menjalin dan mengetahui perkembangan kemitraan dalam melaksanakan promosi kesehatan maka perlu dilakukan komunikasi antar mitra secara teratur dan terjadwal. Dimana dapat langsung diselesaikan permasalahan yang dihadapi di lapangan.
e. Melakukan kegiatan.
Kegiatan yang disepakati haruslah dilaksanakan dengan baik sesuai dengan rencana kerja tertulis yang telah disepakati bersama.

f. Pemantauan dan penilaian.
Kegiatan ini juga harus disepakati sejak awal yang mencakup cara pemantauan dan penilaian terhadap kemitraan dalam pelaksanaan promosi kesehatan yang telah disepakati. Apabila dipandang perlu dari hasil pemantauan dan penilaian ini dapat dipergunakan untuk penyempurnaan kesepakatan yang telah dibuat.
5. KOMITMEN PIMPINAN
Komitmen pimpinan sangat penting dalam melakukan kemitraan untuk pelaksanaan promosi kesehatan dengan swasta. Hal lain yang sangat penting dalam kemitraan terutama adalah adanya dukungan dan sponsor dari pimpinan.
Tanpa dukungan dan sponsor serta keterlibatan aktif pimpinan, kemitraan tidak mungkin dapat mencapai keberhasilan penuh dalam pengembangan promosi kesehatan dan akan mengalami kegagalan.


ASSESMENT
UNTUK KEBERHASILAN KEMITRAAN
Nilai total akhir :
¨ Apabila nilai total dibawah 50, maka ada masalah dengan kemitraan (tidak efektif)
¨ Apabila nilai totalnya lebih dari 70, maka kemitraan akan menjadi tahan lama dan menghasilkan hasil yang baik
¨ Apabila nilai total dibawah 30, maka bukan kemitraan tetapi hubungan/kerja sama biasa.
Nilai dari : 1. Sangat buruk
2. buruk
3. Sedang
4. baik
5. Sangat baik

LINGKARI
1 2 3 4 5

1 2 3 4 5

1 2 3 4 5

1 2 3 4 5

1 2 3 4 5

1 2 3 4 5


1. Memilih mitra
(apakah strategi kemitraan penting
untuk bisnis anda ?)
2. Ketidak jujuran dari mitra
(apakah mitra seperti ini akan
menjadi mitra anda ?)
3. Kejujuran
(apakah ada kejujuran satu sama lain
terhadap mitra penting ?)
4. Karakter dan etika
(apakah hal ini dapat dimasukan
dalam kemitraan ?)
5. Strategi yang baik
(apakah aspirasi dari para mitra
saling mendukung atau dapat
diterima ?)
6. Budaya yang cocok
(apakah para mitra mempunyai
kesamaan budaya ?)

7.
1 2 3 4 5

Konsisten berhubungan langsung
(adakah hubungan langsung yang
konsisten untuk kemajuan
1 2 3 4 5

kemitraan ?)
8. Adanya goal dan interes
(apakah goal dan interes dari mintra ada kesamaan?)
9.
1 2 3 4 5

Kesamaan informasi
1 2 3 4 5


(dapatkah para mitra merasa baik tentang kesamaan informasi?)
10. Menanggung resiko bersama
1 2 3 4 5

(apakah resiko yang ada ditanggung oleh papra mintra bersama?)
11. Menanggung upaya secara bersama
(apakah segala bentuk upaya ditanggung bersama-sama mintra?)
12.
1 2 3 4 5

Sumber daya saling mendukung
1 2 3 4 5

(apakah mitra yang lebih kecil mempunyai kemampuan sumber daya untuk mendukung mitra yang lebih besar?)
13. Masa kerja sama untuk jangka panjang
1 2 3 4 5


(apakah para mitra setuju dengan kemitraan jangka panjang?)
14. Sponsor dari pimpinan
(apakah ada dukungan para pimpinan mitra?)


15.
1 2 3 4 5

Komitmen oleh para mintra dalam kemitraan
1 2 3 4 5

(apakah ada cukup komitmen dari para mitra?)
16. Nilai yang diberikan dan diterima
1 2 3 4 5


(apakah para mitra mempunyai persamaan persepsi tentang nilai-niai yang diperoleh pada kemitraan?)
17. Aturan dan kebijakan
(apakah ini merupakan kunci/ukuran untuk memperkuat kebutuhan akan kemitraan?)
Total Nilai :

H.M. Abi Muhlisin, SKM., M.Kep